An-ni adalah nama panggilan yang sering diberikan kepada imigran baru di Taiwan. Setelah datang ke Taiwan, Ding An-ni (nama asli Sri Handini) juga diberi nama ini. Meski namanya sama dengan banyak yang lain, di dalam hatinya Ding An-ni dipenuhi hasrat ingin tahu terhadap semua hal.
Demi mengenal dunia, Ding An-ni rela meninggalkan Jawa Tengah, kampung halamannya untuk ke “Taiwan,” yang saat itu hanya dikenal lewat omongan teman-temannya.
15 tahun telah berlalu, Ding An-ni menemukan jawabannya sendiri di Taiwan. Dia sekarang adalah editor surat kabar, pengasuh acara di sebuah stasiun radio, main filem di televisi, pengisi suara untuk berbagai acara, dan memenangkan sebuah Penghargaan Golden Bell. Di balik semua status itu, hati An-ni tetap sederhana, sama seperti saat pertama datang.
Di setiap hari Kamis Ding An-ni rutin mengudara dalam acara “Rumah Kebahagiaan” di Radio Pendidikan Nasional. 3 tahun lalu, banyak tamu Indonesia yang diundang ke acaranya, mereka menceritakan kehidupan di Taiwan dan kuliner kampung halaman kepada pendengar. Belakangan ini, karena khawatir pendengarnya merasa bosan, Ding An-ni mengganti isi acaranya dengan memperkenalkan Taiwan, di tengah-tengah cerita ia terkadang menyisipkan bahasa Indonesia.
Tahun lalu, “Rumah Kebahagiaan” untuk kedua kali masuk dalam nominasi Kategori Radio, Penghargaan Golden Bell, dan Ding An-ni sendiri berhasil terpilih menjadi pengasuh acara radio terbaik di tahun itu. Perihal memori pertama kali menjadi pengasuh acara, Ding An-ni mengatakan dia sudah lupa. Meskipun pada awalnya sempat menolak beberapa kali karena alasan tidak berpengalaman, namun tidak terasa kalau dia gugup dan takut.
Kisah Roman Di Negeri Rantau
Ding An-ni yang mandiri, sejak kecil sudah ingin meninggalkan kampung halaman untuk menjelajah dunia, menjadi pengasuh acara radio hanya salah satu dari sekian banyak cobaan dalam hidupnya. Ketika memutuskan meninggalkan Indonesia pada 2001 untuk bekerja di Taiwan, sebetulnya juga untuk memuaskan rasa penasaran terhadap dunia ini.
Tapi saat dia pertama kali menyampaikan maksud untuk pergi ke Taiwan kepada keluarga ternyata jawaban yang didapatkan adalah tidak. Sebagai anak bungsu di rumah, apalagi seorang perempuan, tentu ibunda menentang habis-habisan. Namun setelah setahun terus memohon, akhirnya ibunda baru mengizinkan pergi.
Hidup sendirian di tempat asing bukanlah hal baru bagi Ding An-ni. Saat SMA, Ding An-ni yang suka mencoba hal-hal yang baru selalu berusaha mencari cara untuk meninggalkan rumah. Bahkan demi bisa bersekolah ke luar kota, secara diam-diam ia meminta bantuan tetangga untuk mengirimkan formulir pendaftaran dan akhirnya berhasil melanjutkan studi di luar kota. Pekerjaan pertamanya di Taiwan adalah sebagai perawat rumah tangga, di mata banyak orang ini adalah pekerjaan sangat berat, tapi bagi Ding An-ni ia dapat bekerja dengan senang hati, karena “Bisa mengenal banyak teman baru!”, ujarnya.
Hanya saja, Ding An-ni tidak pernah mengira, kisah roman antar negara yang tidak pernah terbayangkan sedang menanti di negeri asing ini.
Sebelum berangkat bekerja ke Taiwan, pernah ada seorang teman meramalkan kalau dia akan menikah dengan orang Taiwan, tapi Ding An-ni menganggap, hal ini tidak akan mungkin terjadi. Alasannya sangat sederhana, seorang muslimah hanya boleh menikah dengan muslimin, “Tapi Taiwan.., mana mungkin?” Sejenak kemudian, Ding An-ni segera berkata, “Tapi tiada satu hal di dunia itu yang pasti, yang semula tidak mungkin, bisa saja di kemudian hari bisa terjadi.”
Yang dirawat oleh Ding An-ni di rumah sakit adalah kakek suaminya. Setiap minggu dia selalu datang dan pergi dengan diam-diam. Saat bertemu, mereka jarang saling mengobrol, tapi di tangannya pasti ada sesuatu yang diselipkan kepada Ding An-ni. Suster di rumah sakit yang melihat itu semua tahu kalau ada perasaan jatuh cinta dibaliknya, diam-diam ia memberitahukannya, “Cucunya bos, kayaknya suka kamu loh.” Reaksi pertamanya, Ding An-ni berteriak “Mana mungkin!” Berbicara tentang kisah roman ini, meski sudah berlalu sepuluh tahun, Ding An-ni masih tertawa sambil tersipu.
Tapi menurut peraturan Agama Islam, Muslim hanya boleh menikah dengan sesama Muslim, apa yang bisa dilakukan? Dia membujuk suaminya sepanjang seminggu, akhirnya suaminya mengangguk kepala dan setuju menjadi Muslim, dan akhirnya mereka maju ke pelaminan.
Senyuman Manis yang Memikat
Dibandingkan waktu baru datang ke Taiwan, kehidupan setelah menikah malah membuatnya tak terbiasa. Dulu masih ada teman ngobrol tapi sekarang yang ada hanya anggota keluarga dan pekerjaan yang membuatnya merasa kesepian. Namun dengan mengikuti kursus sekolah dimana dia bisa belajar bahasa Mandarin dan bertemu dengan teman baru, akhirnya menjadi sang penolong.
Aktivitas kesehariannya diawali dengan bekerja sejak pagi kemudian sorenya ia menjemput anak; tepat pukul enam Ding An-ni sudah duduk di dalam kelas, saat pulang ke rumah waktu sudah pukul 10 malam, walau waktunya padat tapi dia tidak pernah absen satu hari pun.
Usai tamat kursus, dia secara berturutan meraih lisensi dalam bidang masakan Tionghoa, membuat roti dan bartending. Walau Ding An-ni tidak merasa dirinya adalah seorang murid yang baik, tapi dia sangat pandai dalam ujian. Ding An-ni tidak mengenal sebagian besar aksara Mandarin yang ada di dalam buku pelajaran, semua sertifikat diperolehnya dengan berbekal kosa kata yang terbatas. “Meski ada sebagian huruf yang tidak saya tahu, tapi setelah dibaca berulang-ulang akhirnya ingat juga.”
Di sekolah, ia berkenalan dengan teman-teman baru, tidak hanya membantu meredakan rasa rindu pada kampung halaman, tapi juga membuat Ding An-ni menemukan kesempatan. Sebelum mulai bekerja, dia sudah menjadi sukarelawan di sekolah putrinya, juga menjadi penerjemah di kantor polisi Xindian dekat rumah dan lewat teman, ia mulai mengajar bahasa Mandarin di Asosiasi Buruh Migran Internasional Taiwan (TIWA).
Sama-sama berada di negeri rantau, Ding An-ni tahu bahwa masalah pertama yang dihadapi setiap imigran baru adalah barang-barang kebutuhan kehidupan sehari-hari. Dia mengajar murid-muridnya mengenal sayuran dan buahan di pasar dengan menggunakan kartu gambar. Kalau dulunya dia pernah dibantu orang, sekarang dialah yang membantu orang lain.
Ding An-ni yang selalu aktif dalam kegiatan semakin dikenal banyak orang. Ketika berhadapan dengan orang lain, senyuman adalah ekspresi wajah yang paling sering dia tampilkan. Menurut Ding An-ni, “Dulu dia bukan seperti sekarang,” meski mandiri tapi tetap pemalu, ia tidak akan menyapa apabila orang lain tidak menyapa terlebih dahulu. Selama bertahun-tahun ini, orang yang dikenal semakin banyak, senyuman di wajahnya juga bertambah banyak, dan dia pun semakin dikenal oleh tetangga dan para ibu rumah tangga di pasar. Kadang ibu mertua dan adik iparnya mengatakan, “Baru berapa lama di sini, orang yang dikenalnya lebih banyak dari pada kita.”
Bertanya Lewat TED
Tapi, sikap bersahabat di negeri rantau juga diselingi oleh sorotan mata yang penuh kesangsian. Bulan April tahun ini, Ding An-ni yang bertubuh mungil naik ke panggung TEDxTaipei, menyampaikan pidato berjudul “Sepuluh pertanyaan buat orang Taiwan.”. “Diskriminasi” adalah pesan dan keraguan yang paling dia ingin sampaikan kepada masyarakat Taiwan. Meski senyuman tetap berseri-seri, namun pertanyaan memalukan tetap sulit dilupakan, seperti “Apakah kau menikah ke Taiwan demi uang?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah walau sudah jarang terdengar, tapi ia tetap ingin mengingatkan “Kita harus saling menghormati perbedaan budaya.”
Setelah bertahun-tahun menetap di sini, Ding An-ni sekarang sudah menjadi jembatan budaya antara Taiwan dan Indonesia. Beberapa tahun lalu, Ding An-ni mengikuti suatu lomba kuliner beras bagi imigran baru Taiwan dalam acara “Taiwan Rice Expo” yang digelar oleh Dewan Pertanian. Dengan ramuan pedas dan bawang merah, dia menyajikan nasi goreng ala Indonesia dan terpilih sebagai juara pertama.
Tapi Ding An-ni tidak puas sampai disitu saja. Walau sibuk, dia tetap berusaha mencoba hal baru. Beberapa saat yang lalu, dia mendaki puncak gunung Yushan dan Hehuanshan, dan berharap di suatu hari kelak bisa mewujudkan impian memiliki Motor Besar. Meski sekarang telah menjadi ibu rumah tangga, semangat yang dimiliki sejak muda yaitu tidak ingin hidup monoton sampai sekarang tidak pernah berubah.
Apakah takut melangkah ke lingkungan hidup yang baru? “Saya sudah datang jauh-jauh dari Indonesia, apa lagi yang harus ditakuti?” tutur Ding An-ni sambil tersenyum lagi.